Memaknai Penghambaan dalam Peristiwa Isra’ dan Mi’raj | Dr. ‘Aidh Al-Qarni

ReferensiMuslim.Com – Peristiwa Israadalah peristiwa luhur dan agung. Allah SWT berfirman, “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil” (QS. Al Isra: 1). Allah mengawali surat ini dengan ‘Maha Suci Allah’ yaitu takjub dengan perbuatan, penciptaan, dan perisritiwa agung ini. Allah memaparkan tentang kebesaran perjalanan ini, tidak pernah terdengar sebelumnya, yaitu perjalanan dari alam fana ke alam keabadian, dari bumi naik ke langit, dan dari tanah menuju Tuhan semesta alam. 

Maha suci Allah, yang telah memperjalankan.”Allah SWT menyebutkan ‘Asra’ (memperjalankan), tidak dengan ‘dzahaba’ atau ‘irtahala’ (pergi), karena ini terjadi pada malam hari. Dan Allah memilih pada waktu malam karena untuk menyembunyikan perkataan, dan di dalamnya ada hembusan angin, keberkahan, dan sebaik-baiknya waktu ibadah adalah qiyamul lail (shalat malam), mengingat malam lebih tidak nampak perjalanannya dan menjaga peristiwa itu dari pandangan orang-orang yang dengki. Hingga sebagian mereka berkata:
 

Ku katakan pada malam apakah sepertigamu
tesembunyi bagi perkataan dan rahasia
Ia menjawab aku tidak temukan dalam hidupku perkataan
Seperti perkataan para pecinta di waktu fajar

Selanjutnya dalam ayat tadi Allah mengatakan “hamba-Nya” tidak mengatakan “Rasul-Nya atau nabi-Nya” sebab ini dalah kedudukan kemuliaan dan pengangungan yang dimana Allah telah memulikannya dengan penghambahan. Dalam Al Quran Rasulullah saw disebutkan sebagai penghambaan terdapat dalam 3 tempat:
 

1-   Pada tempat diturunkannya wahyu, Allah berfirman, “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al Furqan: 1)
2-   Pada tempat menyampaikan wahyu, Allah berfirman,“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat).” (QS. Al Jin: 19)
3-   Pada tempat Isra, Allah berfirman, “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya.” (Al Isra: 1)

Rasulullah saw adalah hamba dari hamba-hamba Allah, beliau adalah orang yang paling beribadah kepada Allah, hamba paling ikhlas kepada Tuhannya, dan paling tahu tingkatan-tingkatan ibadah. Dari sebagian tawadlu (kerendahan hatinya) beliau duduk seperti duduknya hamba biasa, makan seperti makannya hamba, beliau tidak ridho jika ada orang mengkultuskannya melebihi kedudukan yang diturunka Allah kepadanya. Beliau bersabda:
 

لاَتَطْرُوْنِي كَمَا أَطَرَتْ النَّصَارَي عِيْسِى ابِنَ مَرْيَمَ، إَّنمَا أَناَ عَبْدٌ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah klaian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani telah mengkultuskan Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku ini adalah hamba, maka sebutlah (aku): hamba Allah dan Rasul-Nya.”[1]



[1] – Dikeluarkan oleh Bukhari No. 3445
Sumber: Rowai Siroh, Dr. ‘Aidh Al-Qarni  

Berbagi dengan Admin Follow @referensimuslim atau @GozaliSudirjo

Silahkan tulis komentar Anda disini!

Your email address will not be published. Required fields are marked *