Memiliki Sifat Pemaaf (Seri Peradaban 4)

Seorang muslim yang bertakwa adalah seorang yang memiliki sifat pemaaf. Sifat ini merupakan sifat yang sangat luhur. Ayat–ayat Al Quran sangat memuji orang yang memiliki sifat pemaaf. Menjadikan orang–orang yang menghiasi dirinya dengan sifat ini sebagai orang yang paling bertakwa dan mulia dalam agama Islam. Ia akan dimasukkan kedalam golongan manusia terbaik. Ia akan menggapai kecintaan dan keridhaan Allah SWT.

Allah SWT berfirman, “Dan orang–orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. maka Allah SWT menyukai orang yang berbuat kebaikan“. (QS. Ali Imran: 134)

Karena mereka menahan amarahnya, tidak melakukan kedengkian dan tindakan dendam, bahkan terbebas dari hal tersebut. Lalu mengambil langkah–langkah sebagai orang–orang yang pemaaf dan berlapang dada kepada sesama. Maka dengan kebersihan dan kejernihan hatinya, mereka akan mendapat kemenangan dan lebih dari itu, Allah SWT akan mencintainya dan meridhainya.

Sungguh memberi maaf adalah sebuah pendakian yang sangat tinggi. Ia tidak bisa didaki dan dilewati kecuali telah dibukakan kunci–kunci hatinya oleh petunjuk Islam dan telah tergetar jiwanya dengan norma–norma Islam yang mulia.Dengan itu mereka akan mengutamakan apa–apa yang berada disisi Allah SWT berupa ampunan, kehormatan dan pahala, daripada menuntut balas dendam.

Al Quran telah mengambil langkah–langkah paling baik dalam mendorong jiwa manusia agar mencapai pendakian yang tinggi lagi sulit ini. Al Quran telah menjelaskan bahwa orang yang jatuh pada perbuatan keji maka dia harus menghilangkan kekejian itu dan mengganti kesalahan itu. Karena balasan kejahatan adalah keburukan serupa.

Tetapi Al Quran tidak membiarkan orang yang terdhalimi untuk membalas dendam dan menuntut balas, tetapi bagaimana dia senantiasa mengulurkan tangannya dan memberi maaf. Dipertegas lagi, kalau dia telah sampai pada pendakian itu maka itulah perkara yang di utamakan.     

Allah SWT berfirman, “Dan bagi orang–orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dhalim mereka membela diri dan belasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah SWT, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang–orang yang dhalim dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya tidak ada suatu dosa pun atas mereka sesungguhnya dosa itu atas orang–orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di atas muka bumi tanpa hak mereka itu mendapat azab yang pedih. tetapi orang–orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya yang demikian itu merupakan hal–hal yang di utamakan“. (QS. As Syura: 39-43)

Ketika getaran–getaran kesedihan membinasakan dan meredupkan jiwa  lapang dadanya Abu Bakar Ash Shiddiq ra, disaat mendengar peristiwa haditsul ifki  (berita kebohongan), ia pun terkena panah–panah sebagian lidah dan omongan berdosa. Terpanah karena peristiwa tersebut terkait dengan putrinya sendiri, yaitu sayidah Aisyah Ummul Mukminin. Ia pun berjanji kepada dirinya sendiri memotong dan menghentikan bantuan–bantuan yang selama ini ia lakukan terhadap kerabatnya yang miskin dan orang–orang yang berhijrah. Karena mereka termasuk orang yang berperan dalam menyebarkan fitnah tersebut.

Turunlah firman Allah SWT yang berkaitan dengan apa yang Abu Bakar lakukan, “Dan janganlah orang–orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabatnya orang–orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah SWT dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak inggin bahwa Allah SWT mengampunimu? dan Allah SWT adalah maha pengampun lagi maha menyayangi“. (QS. An Nur: 23)

Sesungguhnya interaksi dan pergaulan antar individu dalam sebuah masyarakat muslim tidak tegak diatas saling membalas dendam, menuntut, perhitungan, maunya menang sendiri, egois dan hitung-hitungan. Tetapi  interaksi dan pergaulan antara individu sebuah masyarakat muslim harus berdiri dan terlestarikan didalamnya saling toleransi, memaafkan, mengulurkan tangan dan kesabaran. Hal inilah anjuran yang diserukan ayat–ayat al Quran, petunjuk Allah SWT yang Maha Tinggi dan Maha Lurus.

Firman Allah SWT: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. tolaklah kejahatan itu dengan cara yang paling baik, maka tiba–tiba orang  yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah–olah telah menjadi teman yang sangat setia. sifat–sifat baik itu tidak di anugrahkan melainkan kepada orang–orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.“ (QS. Fusilat: 34-35)  

Sesungguhnya tindakan kejahatan apabila terus–menerus dibalas dengan tindakan kejahatan, maka akan mengobarkan api kemarahan dalam jiwa, melahirkan sifat dengki dan akan semakin kuatnya perasaan balas dendam. Tetapi jika tindakan kejahatan dibalas dengan tindakan kebaikan, maka akan memadamkan kobaran api kemurkaan, menentramkan dan menenangkan hentakan–hentakan jiwa serta membersihkan noda–noda dendam.

Tentunya dua orang yang saling bermusuhan itu akan menjadi dua shahabat yang saling menyayangi dengan tulus, saling bertutur kata baik dan santun. Saling menyunggingkan senyum manis diantara mereka. Sungguh itulah sebuah kemenangan yang sebenar–benarnya. Yaitu bagi orang–orang yang membalas suatu tindakan kejahatan dengan cara yang lebih baik. Kemenangan yang tidak dianugerahkan kecuali kepada orang–orang yang sangat beruntung. Seperti yang diisyaratkan dalam ayat Al Quran, Abu Bakar telah menghadapi tindakan kejahatan itu dengan keping kesabaran lalu ia bersabar, kemudian  membalasnya dengan kebaikan–kebaikan.
Inilah akhlak seorang mukmin dalam sebuah masyarakat mukmin. Ayat– ayat al Quran mendorong dan membantu mereka mengembalikkan keaslian akhlak mulia dalam jiwa–jiwa mereka. Seorang mukmin dalam kondisi seperti diatas maka harus menahan amarahnya dan murkanya, kemudian memaafkan, menjabat dan mengulurkan tangan dengan cara yang paling baik. Dibelakang tidak meninggalkan bekas, pengaruh kedengkian, balas dendam dan kemurkaan.

Allah SWT berfirman, “Maka maafkanlah (mereka)  dengan cara yang paling baik.” (QS. Al Hijr: 85)

Tidak sedikit pula hadits–hadits yang mulia selain Ayat–ayat al Quran yang menyebutkan perilaku atau akhlak manusia yang unik ini. Yaitu sifat memaafkan dan lapang dada. Dan hadits–hadits itu juga menganjurkan untuk mengembalikan karakter asli seorang muslim. Hadits–hadits yang memberi sifat tersebut sebagai prilaku nyata nan luhur sebagaimana Rasulullah SAW. Beliau adalah tauladan, pemimpin dan murobbi para shahabat. Beliau menyeru mereka untuk mengikuti jejak langkah perjalanan hidup dan petunjuknya.

Dari Aisyah ra sesungguhnya dia telah berkata,

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَىْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلاَّ أَنْ يُنْتَهَكَ شَىْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

“Rasulullah SAW tidak pernah memukul orang sekalipun dengan tangannya. Tidak juga seorang perempuan dan seorang pembantu atau pelayan. Kecuali ketika dia berjihad di jalan Allah SWT. Dan tidak pernah cenderung darinya sedikitpun untuk membalas dendam kepada seseorang. Kecuali karena melanggar sesuatu dari larangan Allah SWT. maka sesungguhnya Allah akan membalasnya.“  

Rasulullah SAW telah mengikuti petunjuk Allah SWT,
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah dari orang–orang yang bodoh.“ (QS. Al A’raf: 199)

Juga beliau mengikuti firmanNya:
“Maka balaslah dengan cara yang paling baik.“ (QS. Fusilat: 34)

Inilah salah satu ayat yang unik dari ayat–ayat Rabbani tentang akhlak. Menyuruh manusia untuk berperilaku dengan akhlak mulia ini. Menyuruh agar tidak balas dendam, tidak menghadapi tindakan kejahatan dengan kejahatan lagi. Membalasnya dengan perilaku saling memaafkan, kebaikan dan berpaling dari orang–orang yang bodoh. Membalasnya dengan kebaikan dan cara yang paling baik.

Dari Anas bin Malik ra berkata,

كُنْتُ أَمْشِى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِىٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ، فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِىٌّ فَجَبَذَهُ بِرِدَائِهِ جَبْذَةً شَدِيدَةً، حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ أَثَّرَتْ بِهَا حَاشِيَةُ الْبُرْدِ مِنْ شِدَّةِ جَبْذَتِهِ، ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مُرْ لِى مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِى عِنْدَكَ. فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ ضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ.

“Suatu hari saya berjalan bersama  Rasulullah SAW dan diatas pundak beliau ada selendang dari kaum Najran yang bahannya agak tebal. selendang itu diketahui seorang Arab Badui, lalu dia menarik selendang itu dengan tariakn yang sangat kuat, lalu saya melihat permukaan pundak Rasulullah SAW. Nampak jelas pada pundak beliau  bekas selendang tebal itu akibat tarikannya yang sangat kuat. kemudian Arab Badui itu berkata, Wahai Muhammad SAW berikanlah padaku dari harta Allah SWT yang ada pada dirimu. lalu beliau menolehnya dan tersenyum, dan menyuruhnya untuk mengambil selendang tebal tersebut.“  

Telah melampaui dalam diri Rasulullah yang mulia karakter mendalam sifat pemaaf. Sungguh beliau telah memaafkan seorang perempuan yang beragama Yahudi. Perempuan yang telah menghadiahkan kepada beliau paha kambing yang telah berlumur racun.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya, sesungguhnya ada seorang perempuan yang beragama Yahudi menghadiahkan kepada Rasulullah SAW sepotong daging kambing yang telah diracuni. Maka Rasulullah SAW memakan daging kambing itu, dan sebagian besar para shahabat yang bersama beliau juga memakannya. Beberapa saat kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Berhentilah kalian makan, karena sesungguhnya daging ini beracun.“ kemudian didatangkan kepada Rasulullah SAW perempuan tersebut dan beliau bertanya, “Apa yang mendorong kamu berbuat seperti ini?” perempuan itu berkata, “saya hanya ingin mengetahui jikalau engkau benar–benar Nabi, maka Allah SWT akan memberitahu apa yang ada di dalamnya dan sekali–kali tidak akan mencelakakanmu. Dan apabila engkau bukan seorang Nabi, kami akan aman darimu. Para shahabat berkata, apakah kita akan membunuhnya? beliau menjawab, “tidak” dan beliau memaafkan perempuan itu.

Ketika Daus bermaksiat, tidak patuh terhadap perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Datang Tufai bin Amru Addausi ra menyampaikan kepada Rasulullah SAW, ia berkata, sesungguhnya Daus telah bermaksiat dan berpaling dari perintah Allah SWT, maka laknatlah ia atas Allah SWT, kemudian Rasulullah SAW menghadap kiblat sembari mengangkat kedua tangannya dan berdoa untuknya. orang–orang berkata, celakalah engkau! Tetapi Rasulullah SAW yang sangat penyayang dan merindukan para hamba–hambanya agar tidak disentuh oleh api neraka dan azab Allah SWT, bersegera mendoakan Daus dengan perkataannya,

اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ، اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ، اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ.

“Wahai Tuhanku berilah petunjuk kepadanya dan datangilah petunjuk tersebut, Wahai Tuhanku berilah petunjuk kepadanya dan datangilah petunjuk tersebut,  Wahai Tuhanku berilah petunjuk kepadanya dan datangilah petunjuk tersebut“.  

Sungguh Rasulullah Saw selalu menanamkan sifat pemaaf dan jiwa lapang dada terhadap kaum muslimin. Kita tentunya akan mendapatkan petunjuk tarbiyah islamiyah, petunjuk Robbani. bila dihadapkan dengan situasi permusuhan atau pemutusan hubungan silaturahim, maka seseorang akan lebih menerima bila kita menerima dan menampilkan sikap mulia, memaafkan dan lapang dada. Dibanding apabila kita menghadapinya dengan sikap kasar dan kekerasan. 

Diantara petunjuk Rasulullah SAW yang lain, ketika Uqbah bin Amir bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى بِفَوَاضِلِ الأَعْمَالِ فَقَالَ: يَا عُقْبَةُ صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَأَعْطِ مَنْ حَرَمَكَ وَأَعْرِضْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ.

“Wahai Rasulullah SAW! kabarkan kepada saya tentang keutamaan–keutamaan sebuah amal? beliau menjawab, Sambunglah hubungan tali silaturahim dengan orang–orang yang memutuskannya, dan berikanlah sesuatu kepada orang–orang yang tidak memberimu, dan berpalinglah dari orang yang mendhalimimu“.

Dalam riwayat lain,

وَاعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَكَ.

“Maafkanlah orang–orang yang mendhalimimu.“ 

*)Disarikan dari buku “Syakhshiyah Muslim”, karya Dr. Muhammad Ali Al  Hasyimi

Silahkan tulis komentar Anda disini!

Your email address will not be published. Required fields are marked *