Kenapa hingga kini mereka begitu dekat dengan kita? Kenapa nama-nama seperti; Sayid Sabiq, Ibnul Qoyim, Imam Bukhari, Imam Muslim dan sejumlah nama besar lainnya begitu lekat di telinga kita?!
Jawaban yang paling mendasar karena mereka memiliki karya tulis atau gagasan dan ilmu mereka ditulis, ditulis, ditulis dan ditulis!
Sebut saja misalnya, Fiqhu as Sunnah jilid pertama yang diterbitkan pada tahun 1940! Karya monumental ini adalah buah karya Sayid Sabiq. Diantara kitab fikih yang menjadi rujukan mayoritas umat Islam dunia, mendapat sanjungan -ada juga kritikan- dari para ulama dan berbagai kalangan. Dikampus-kampus Internasional, seperti Al Azhar University menjadi referensi utama fikih buat para mahasiswanya. Sekitar 70 tahun karya ini tetap menjadi best seller, telah diterjemahkan ke bebagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Beberapa penerbit di Indonesia telah menerbitkan terjemahan Fikih Sunah (termasuk plus-minus terjemahan tersebut).
Barangkali saya dan Anda pernah berdecak kagum dengan subuah karya non muslim, sebut saja The Seven Habits yang menjadi bacaan wajib para penggiat sekolah dan pendidikan. Padahal kalau kita telusuri, buku itu adalah kumpulan pengalaman penulis dan orang lain saat mengajar. Lalu di tulis dan di publikasikan. Akan berbeda ceritanya, bila pengalaman itu tidak ditulis, ya barangkali kita atau bahkan cucu dan cicit kita tidak pernah tahu yang namanya Steven Covey dangan The Seven Habits-nya.
Pernahkah kita membayangkan begitu indahnya perjuangan seorang mahasiswa al Azhar Kairo, atau bahkan seakan kita melihat Mesir secara nyata dengan begitu detail, atau bahkan kata demi kata dalam bahasa Arab (tepatnya bahasa Mesir) tahu arti dan maknanya, sebelum kita membaca karya besar Habiburahman el Shirozi dengan novel Ayat-ayat Cinta dan Ketika cinta Bertasbih.
Betapa kita sangat bersyukur kepada para penulis sejarah. Sehingga kita bisa mengenal siapa nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Isa ataua bahkan Nabi Muhammad. Karya besar mereka menjadi pahala yang terus mengalir, laksana air sungai yang deras, air bening yang terus mengalir dari generasi ke generasi. Subhaanallah, betapa pena-pena mereka menjadi lahan subur meraih pahala. Syafiur Rohman al Mubarokfuri begitu sering kita sebut-sebut namanya karena karya besar al Rahiqu al Makhtum, penulis best seller sejarah Rasulullah dari A sampai Z.
Barangkali bila kita urai contoh-contoh seperti diatas betapa banyak, saya yakin tidak akan cukup usia kita untuk menulisnya. Ini adalah contoh mungil, mudah-mudahan kita bangkit dari tidur panjang. Tersadar betapa berharganya kata demi kata yang akan dan sedang kita tulis. Berharap dengan jalan seperti ini kita bisa meneladani mereka. Meski usia kita hanya sisa sehari, satu jam atau bahkan satu menit, insya Allah kita bisa.
Ada ungkapan, “Bila gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnya dan kalau manusia mati meninggalkan amalnya (lebih khusus, meninggalkan karya tulisnya).” Semoga menjadi renungan bersama; buat saya, Anda dan kita!
Ibnu Taymiyah dan Ibnu Al-Qayyim dengan berpuluh-puluh karyanya, Al-Imam Al-Nawawy, banyak lagi…seakan tak cukup umur untuk membaca seluruh karya satu orang di antara mereka saja, bagaimana mereka menulisnya dengan alat yang tidak secanggih saat ini.
Satu minggu saya hanya mampu membuat satu tulisan pendek yang tidak pernah terpublikasikan. Mereka dengan usia yang sama dengan kita, ratusan judul yang tiap judulnya ada yang hingga lebih dari sepuluh jilid mampu mereka hasilkan…
Tulisan Saudara sangat menggugah saya…mohon doa semoga ke depan lebih banyak yang dapat saya tulis.