Ikut Natalan dan mencicipi makanan Natal?

ReferensiMuslim.Com: Fenomena umat Islam mengikuti misa natalan masih kerap saja terjadi di masyarakat kita atau istilah sekarang “Natalan Bersama.” Beragam alasan memang mereka lontarkan; menghormati klien kantor, menjaga keharmonisan dan lain-lain. Ada baiknya kita mengetahuinya, sehingga kita bisa bijaksana mengambil sikap dan tentunya tidak melanggar ketentuan syariat yang prinsipil.

Jika ditinjau dari hukum fikih, pada dasarnya makanan/sembelihan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah halal bagi muslim. hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5, yang artinya:

“Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian yang baik-baik, dan makanan / sembelihan ahlul kitab halal bagi kalian, dan makanan kalian halal bagi mereka.”

Dalam sebuah riwayat juga diinformasikan bahwa suatu hari Rasulullah Saw memenuhi undangan makan orang Yahudi, namun ternyata dibalik undangan itu orang Yahudi itu punya niat busuk yaitu ingin membunuh Rasulullah Saw dengan meletakkan racun pada hidangan makanan yang akan dimakan Rasulullah, namun kemudian Allah memerintahkan malaikat

Jibril untuk memberitahu hal itu kepada Nabi Saw. dan telah jatuh korban dari sahabat Rasulullah Saw.

Dengan dasar di atas, boleh-boleh saja orang Islam memberi makanan kepada tetangganya yang Nasrani misalnya, atau sebaliknya ia menerima makanan darinya. Tentu dengan catatan, jenis makanannya adalah makanan yang memang secara materi dihalalkan. Dan pandangan ini juga yang diambil oleh mayoritas ulama’ Islam.

Akan tetapi jika kemudian makanan itu terkait dengan perayaan natal mereka, apakah juga halal?.
Kalau berbicara pada materi makanannya, selama jenis makanan itu adalah makanan halal, tidak ada larangan. Namun mungkin yang menjadi masalah adalah apabila jika memakan makanan natalan itu dengan niat ikut merayakan natal mereka, maka sikap itu yang kemudian bisa merubah menjadi haram. Karena tidak dibenarkan orang Islam ikut merayakan natal, hal itu sama dengan mencampur adukkan keyakinan agamanya dengan agama lain.

Islam memang toleran dengan agama-agama lain, artinya toleransi adalah mengakui keberadaan agama-agama lain itu, mereka berhak untuk menjalankan keyakinan mereka, namun tidak mengakui kebenaran agama mereka. Karena meyakini Tuhan ada tiga adalah keyakinan jelas salah. Barang siapa yang meyakini Allah mempunyai anak, maka ia adalah kafir dan musyrik. Nabi Isa bin Maryam pun tidak memerintahkan umatnya untuk menjadikan anak Tuhan, sebagaimana terdapat dalam QS al-Maidah: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “wahai Isa putra Maryam! engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah? (Isa) menjawab: Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. sungguh Engkaulah yang mengetahui segala yang ghaib.” (QS. al Maidah: 116)

Dengan demikian, tidak dibenarkan orang muslim ikut merayakan natal, karena bisa jadi hal itu akan merusak aqidahnya, karena dengan tindakan seperti itu sama hal mengakui kebenaran keyakinan mereka. Oleh karenanya, kerjasama antara muslim dengan non muslim, boleh-boleh saja dalam hal-hal muamalah, bukan masalah prinsip agama seperti keyakinan.

Tinjauan kemaslahatan dan kemadharatan
Apakah boleh menikmati makanan natalan atau tidak, bisa dilihat dari segi kemaslahatan dan kemadharatan yang ditimbulkan. Jika dengan ikut “pesta” makanan natal, orang-orang kristen merasa mendapat justifikasi dari kalangan Islam dilingkungan itu sehingga mereka bebas untuk menjalankan misinya dan sebaliknya orang Islam menjadi lemah / tidak sampai hati karena mereka telah berbuat baik dengan membagi parcel atau makanan, hal ini bisa dijadikan pertimbangan untuk sebaiknya tidak ikut menikmati. Karena betapa banyak kaum muslimin yang lemah keyakinannya, mereka murtad karena hanya dengan menadapat hadiah berupa makanan, layananan kesehatan, pendidikan dll.

Alasan inilah yang mungkin melatarbelakangi sebagian ulama yang mengharamkan untuk menerima semua bentuk hadiah dan apa saja dari agama lain terlebih adalah nasrani. Termasuk yang mengambil pendapat ini adalah Ibnu Umar. Beliau bahkan tidak membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuah ahli kitab, dengan alasan ahlu kitab dalam hal ini nasrani, adalah masuk katagori orang musyrik. Dalam pernyataan beliau; siapakah yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan Tuhan itu ada tiga?

Kesimpulannya adalah ditinjau dari hukum fikih, memakan makanan dari ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) selama makanan itu halal adalah boleh. Namun jika makanan itu terkait dengan perayaan natal, maka yang perlu diperhatikan adalah aspek-aspek lain seperti niat dan makna dari keikutsertaan dalam menikmati makanan natalan tersebut, dan dampak yang timbul dari perilaku itu, sehingga nantinya bijak dalam mengambil sikap. Meski pada prinsipnya, makanan yang secara materi halal adalah halal. wallahu a’lam.

Link: syariahonline dot com

Silahkan tulis komentar Anda disini!

Your email address will not be published. Required fields are marked *