Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz saya mau bertanya, jika ada 2 orang yang berzina kemudian wanitanya hamil, selanjutnya mereka menikah. Kemudian wanita tersebut tsb mengalami keguguran dan beberapa waktu kemudian wanita itu hamil lagi. Pertanyaannya:
1. Apakah pernikahan itu sah?
2. Kemudian jika pernikahannya tidak sah, apakah mereka harus melakukan ijab qabul kembali?
3. Apa hukum bayi yang sedang dikandung sekarang?
4. Jika bayi ini lahir nasabnya ke ibu atau bapaknya?
5. Apa yang harus mereka berdua lakukan, apakah mereka harus melakukan ijab qabul kembali setelah bayinya mereka lahir.
Atas jawaban ustadz saya ucapkan terima kasih. -Putri-
Memang muncul banyak pertanyaan di masyarakat—juga di rubrik ini—tentang pernikahan yang dilakukan seorang wanita yang terlanjur hamil sebelum menikah yang pada umumnya dikarenakan perzinahan yang dilakukannya.
Pergaulan yang serba bebas tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang jauh dari rambu-rambu syariah terlebih lagi didukung oleh berbagai sarana yang mudah diakses dan digunakan dalam kemaksiatan maka menjadikan perzinahan sering terjadi dan tidak jarang menghiasi berita-berita di kota-kota besar.
Perzinahan merupakan perbuatan yang sangat buruk dan pelakunya diancam dosa besar oleh Allah swt, firman-Nya,”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32) Hal itu dikarenakan terlalu banyaknya efek yang ditimbulkan dari perzinahan, baik efek psikologi, sosial maupun moral.
Dilain sisi islam memuliakan pernikahan dan menjadikannya halal dilakukan oleh manusia. Pernikahan adalah sarana bagi seseorang untuk mendapat ketenangan dan ketentraman hidup yang dibutuhkan oleh setiap orang, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)
Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah sah tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina :
1. Para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi mengatakan tidak diperbolehkan pernikahannya sebelum dia melahirkan, tidak dengan lelaki yang menzinahinya atau dengan lelaki yang lainnya. Hal ini dikarenakan keumuman sabda Rasulullah saw,”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud) dan sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi)
2. Para ulama Syafi’i, Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa dibolehkan pernikahan seorang wanita yang sedang hamil karena perzinahan dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, sebagaimana sabda Nabi saw,” Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud). Tidak disyaratkan taubat untuk kesahan pernikahan seorang wanita pezina menurut jumhur ulama, sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar yang pernah memukul seorang laki-laki dan perempuan pezina dan dia menganjurkan untuk mengumpulkan keduanya.
Para ulama Hambali mensyaratkan kesahan akad seorang wanita zina dengan adanya pertaubatan dari wanita itu atas zina yang dilakukannya, sebagimana firman Allah swt :
Artinya : “atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nuur : 3)
Seorang wanita yang belum bertaubat dari perbuatan itu maka ia masih terdeskreditkan oleh perzinahan dan apabila ia telah bertaubat maka hilanglah pendeskreditan itu, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Seorang yang bertaubat bagai orang yang tidak ada baginya dosa.” (HR. Ibnu majah, Baihaqi)
Didalam fiqih Syafi’i hanya ada satu pendapat bahwa tidak ada mahram pada mani hasil dari zina, hal itu dibuktikan dengan tidak adanya hukum nasab didalam warisan maupun yang lainnya. Maka dari itu akad nikah dari seorang wanita hamil dari berzina adalah sah baik dengan orang yang menzinahinya atau yang lainnya namun dimakruhkan untuk menggaulinya demi menghindari perselisihan dalam hal keharamannya. Ini juga pendapat yang masyhur dari Imam Malik dan salah satu dari dua riwayat Imam Abu Hanifah dan pendapat dari Imam Muhammad bin al Hasan.
Dengan demikian maka akad seorang wanita hamil karena zina adalah sah namun dimakruhkan untuk menggaulinya hingga dia melahirkan apa yang dikandungnya dari hasil perzinahan tersebut, menurut para ulama Syafi’i. Diharamkan menggaulinya, menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Sedangkan didalam madzhab Maliki terdapat beberapa pendapat , ada yang mengatakan : diharamkan, ada yang mengatakan : makruh, ada yang mengatakan : boleh dan ada juga yang mengatakan : dianjurkan. Kemudian bayi yang dilahirkan dari hasil zina ini hanya dinasabkan kepada ibunya saja dikarenakan dialah yang mengandungnya dari zina itu dan tidak kepada suaminya. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz II hal 220 – 221)
Dengan demikian pernikahan seorang wanita yang sedang hamil karena zina ketika seluruh persyaratannya terpenuhi maka ia dianggap sah dan tidak perlu lagi diulangi setelah anak yang dikandung dari hasil perzinahan tersebut terlahir.
Kesimpulan:
1. Menurut Imam Syafii pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina tetap sah, dan tidak perlu mengulangi ijab qabul.
2. Hukum bayi yang dikandung sekarang adalah sah dan nasabnya ke bapaknya, karena bayi hasil perzinahan keguguran. Dan bayi yang sekarang setelah resmi ijab qabul pernikahan.
Wallahu A’lam
Link: eramuslim.com