Dibaca: 657
ReferensiMuslim.Com – Para pakar ulama syariah yang ekspert dibidang hukum ekonomi dan muamalat kontemporer umumnya sekapat atas keharaman sistem pinjaman bank konvensional ini. Mereka umumnya sepakat bahwa bunga bank adalah riba’ yang diharamkan, bahkan riba yang paling jahat yaitu riba hutang atau riba jahiliyah. Dan pendapat inilah yang disepakati oleh para ulama, di antaranya adalah ulama yang tergabung pada lembaga fiqih yang sangat berpengaruh di dalam dunia Islam,
bukan sekedar ijtihad orang per orang, tetapi di dalamnya berkumpul para ulama pakar ekonomi level dunia.
Diantaranya adalah : – Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo tahun 1965. – Lembaga Fiqh Islam OKI di Jeddah tahun 1985 – Lembaga Fiqh Islam Rabithah ‘Alam Islami di Mekkah tahun 1406 H – Keputusan Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983. – Fatwa Mufti Mesir tahun1989. Dan sekian banyak kajian dan bahasan tentang sistem ekonomi Islam lainnya yang diakui keberadaannya oleh masyarakat Islam sedunia.
Intinya semua telah menyepakati bahwa bunga bank konvensional adalah riba yang diharamkan. Tidak peduli untuk pinjaman yang bersifat konsumtif atau pun yang bersifat produktif. Juga tidak memandang apakah besarnya bunga itu rendah (soft loan) atau tinggi. Kesemuanya termasuk riba yang telah diharamkan Allah dengan nash Al-Quran dan Sunnah secara tegas, jelas dan tidak ada keraguan. Yang jadi titik masalah adalah bunga bank yang merupakan kelebihan atas pengembalian pinjaman yang baik dalam skala besar atau kecil sekalipun tetap diharamkan oleh Al-Quran. Alah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah : 278-279). Dan Rasulullah SAW di dalam hadits-hadtisnya: “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud).
Jalan keluar dari masalah ini sebenarnya sangat jelas dalam Islam, yaitu baitul mal. Baitul mal adalah lembaga keuangan milik umat Islam yang dihimpun dari zakat, sedekah, wakaf dan bentuk-bentuk ibadah maliyah lainnya. Sayangnya, umat Islam tidak pernah memikirkan masalah ini sehingga dari 200-an juta muslimin Indonesia, baitul mal cuma ada beberapa biji, itu pun dana yang terhimpun masih sangat terbatas sekali, sehingga tidak dapat mengatasai masalah seperti yang kita hadapi. Padahal seorang yang dililit hutang punya hak untuk mendapatkan bantuan lepas/prestasi [putus] dari baitul mal. Gharim atau orang yang terlilit hutang memang termasuk dalam kategori yang mendapat dana zakat untuk melepaskannya dari lilitan hutangnya itu.
Dalam Al-Quran, telah disebutkan 8 kelompok yang berhak menerima zakat dan salah satuya adalah: Al-Gharimin. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)
Sedangkan kriteria seorang gharim yang berhak mendapatkan dana zakat, para ulama menentukan syarat-syaratnya secara umum, antara lain :
1. Orang tersebut memang tidak melunasi hutangnya. Sehingga seorang yang masih memiliki harta dalam bentuk lain dan masih ada kemungkinan untuk melunasi hutangnya, tidak diberikan dana zakat. Misalnya, seseorang terbelit hutang Rp. 100 juta dan dia tidak punya uang tunai untuk melunasinya. Namun dia masih punya tanah dengan luas 1.000 m yang NJOP-nya per meter Rp. 100.000. Maka jelas-jelas tidak boleh diberikan dana zakat kepadanya karena pada dasarnya dia masih memiliki harta. Kecuali bila nilai jual tanahnya itu kurang dari nilai hutangnya, maka selisihnya sajalah yang diberikan oleh amil dari dana zakat.
2. Hutangnya di dalam masalah kebaikan atau dalam masalah yang mubah. Sedangkan bila dia berhutang untuk masalah yang haram seperti khamar, zina, judi dan lain-lainnya maka sama sekali tidak berhak mendapatkan dana zakat. Atau pun hutang pada masalah yang hukum dasarnya mubah namun dia melakukannya dengan berlebih-lebihan (israf). Karena perilaku israf sendiri sudah terlarang meski untuk hall-hal yang mubah. Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A`raf : 31) Dana zakat tidak diberikan kepada orang yang berhutang dalam maksiat karena akan membantu kemungkaran. Kecuali bila dia bertaubat. Namun para ulama mensyaratkan bahwa seseorang yang berhutang pada malasah kemaksiatan harus bertobat dulu dengan sebenar-benar taubat dan ada masa waktu dimana dia menunjukkan kebenaran tobatnya, barulah imam nanti akan menentukan apakah dia berhak mendapatkan bantuan dana zakat untuk melepaskannya dari hutang yang melilitnya atau tidak.
3. Hutangnya harus segera dibayarkan. Dana zakat bisa diberikan kepada gharim dengan syarat bahwa saat ini memang harus segera melunasinya. Sedangkan bila masih bisa ditunda dan ada kemungkinan untuk melunasinya nanti, maka belum boleh dikeluarkan. Ada sedikit perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama, karena ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa tidak perlu syarat harus dalam kondisi segera melunasi. Jalan tengah dari kedua pendapat ini adalah dengan melihat anggaran atau kas dana yang ada pada baitul mal. Bila persediaannya banyak dan cukup, maka tidak mengapa untuk memberikan segera kepada gharim, sedangkan bila keuangannya sedikit, maka ditunggu sampai benar-benar membutuhkan.
4. Hutangnya adalah hutang kepada sesama manusia bukan kepada Allah. Hutang kepada Allah misalnya hutang untuk membayar zakat atau kaffarah. Sedangkan hutang kepada sesama manusia seperti hutang kepada rekan bisnis, tetangga dan termasuk kepada orang tua sendiri. Syarat terakhir ini diajukan oleh mazhab Malikiyah saja dan tidak oleh mazhab lainnya. Termasuk dalam kriteria gharimin adalah mereka yang terkena bencana tiba-tiba seperti yang tertimpa musibah baik rumahnya terbakar habis, atau rumahnya hanyut oleh banjir, gempa bumi, tanah longsor dan sejenisnya.
Link: syariahonline.com
Related