ReferensiMuslim.Com – Perbudakan pernah menjadi musuh utama manusia. Sejarah perbudakan sudah ada sejak ribuan tahun lalu, seiring berkembangnya populasi dan peradaban manusia.
Bukti-bukti sejarah menjadi saksi perjalanan para budak di berbagai negara. Tengok saja, bangunan megah Piramid yang dibangun zaman Mesir Kuno, itu tak terlepas dari jasa para budak. Atau Great Wall di Cina yang dibangun Dinasti Qin Sing Huan Ti, juga dibangun dari keringat dan darah puluhan ribu budak.
Praktik perbudakan bahkan sempat ‘dilegalkan’ bangsa-bangsa kolonial Eropa pada abad 14 hingga 18, terhadap orang-orang Afrika. Apakah saat ini perbudakan telah hilang? Ternyata tidak. Perbudakan mengalami metamorfosa dalam bentuk baru yang lebih cerdas, bernama human trafficking atau perdagangan manusia, yang mengarah pada prostitusi, kerja paksa, buruh paksa, dan pekerja anak.
Perbudakan dan perdagangan manusia, dua bentuk yang serupa tapi tak sama. Mereka tetap menjadi budak yang terenggut hak asasinya sebagai manusia bebas dan bermartabat. Mereka dieksploitasi secara fisik maupun psikis, dan apa pun yang dikehendaki tuannya harus diikuti, bila tidak, akan mendapatkan hukuman.
Indonesia sendiri sebagai negara berkembang menjadi lahan subur perdagangan manusia, dan Jabar menjadi penyumbang terbesar praktik ilegal ini. Pada kurun waktu 2005–2009, Jabar menduduki peringkat teratas, dengan 794 kasus. Disusul Kalimantan Barat dengan 711 kasus dan Jatim 441 kasus. Di antara kasus trafficking ini, yakni pengiriman tenaga kerja ilegal ke luar negeri atau luar daerah, yang didominasi kaum perempuan dan sekitar 20% merupakan anak di bawah umur. Mereka sebagian besar dieksploitasi secara seksual maupun kerja paksa.
Jumlah kasus di Jabar pun tetap tinggi dalam dua tahun terakhir ini. Pada 2011, tercatat sebanyak 192 kasus. Indramayu merupakan daerah yang paling rentan dan termasuk zona merah kasus trafficking bersama Subang, Cianjur, Karawang, Sukabumi, Cirebon, dan Kota/Kabupaten Bandung. Mereka biasanya dikirim ke wilayah Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Dari wilayah Kalimantan para korban juga ada yang dikirim ke Malaysia. Banyak pula gadis-gadis belia yang dipekerjakan di klub-klub malam, diskotek, atau spa di Kota Bandung.
Namun masalah ini hanya sebagian yang terlihat. Ibarat fenomena gunung es, jauh lebih banyak kasus terjadi yang tidak diketahui. Tingginya angka human trafficking, tak jauh dari masalah ekonomi, baik korban maupun pelaku. Karena desakan ekonomi dan rendahnya pendidikan, banyak pula orang yang menjual anaknya sendiri. Dari sisi pelaku, trafficking dinilai menguntungkan.
Perbudakan atau apa pun namanya, tentu harus diperangi. UUD 1945 secara tegas mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk perempuan dan anak-anak. Juga diperkuat dengan UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Tentunya tugas ini bukan hanya milik polisi, pemerintah, atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB). Semua lini harus bergerak serentak sesuai fungsinya masing-masing.
Yang jelas, penanggulangan human trafficking harus menyentuh masalah dasarnya, yakni ketidakberdayaan ekonomi dan rendahnya pendidikan. Karena selama dua hal tersebut masih menjadi persoalan, selama itu pula bentuk perbudakan modern tersebut akan terus terjadi. (dm)
Link: inilah.com