PONDASI IBADAH QURBAN

referensimuslim.com – Dalam bahasa Arab, qurban berasal dari kata qaraba, seakar dengan kata ’karib’ dalam bahasa Indonesia, yang berarti dekat. Karenanya, dalam konteks Idul Adha, pesan yang sangat mendasar adalah bahwa agar manusia tidak sesat dalam perjalanan hidup menuju ridha Allah, maka harus selalu menjalin kedekatan dengan-Nya dan merasakan kebersamaan dengan-Nya setiap saat. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Kita semua milik-Nya, dari-Nya kita berasal, dan kepada-Nya kita kembali (Qs. al Baqarah, 156).

Tetapi karena manusia mudah sekali terpedaya oleh kenikmatan sesaat, maka Allah memberi metode dan bimbingan untuk selalu melihat kompas kehidupan, berupa shalat. Karena itulah seruan shalat pun diawali dengan Allâhu Akbar, begitu pula yang diserukan pada Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan dalam ibadah shalat pun kata yang paling banyak diucapkan adalah Allâhu Akbar. Ini mengandung pelajaran bahwa kita harus selalu sadar bahwa prestasi apapun yang kita raih, harta yang kita miliki, jabatan yang kita pangku, semuanya kecil di hadapan Allah. Bahkan semua itu baru bermakna bila berfungsi meningkatkan kedekatan kita kepada-Nya. Kesadaran ini diharapkan dapat mengurangi keangkuhan diri, dan menjadi penghancur ’berhala’ hawa nafsu.

Bahkan secara sangat dramatis penghancuran berhala hawa nafsu tersebut dicontohkan dalam drama penyembelihan Nabi Ibrahim terhadap putranya sendiri, Ismail. Secara fisik, memang peristiwa itu tidak jadi dilakukan, karena posisi Ismail digantikan dengan hewan ternak. Namun secara mental-spiritual perintah Allah telah siap dijalankan oleh Ibrahim, Ismail, dan Hajar -sang istri.

Peristiwa ini juga mengandung pelajaran bagi para pemimpin. Berhati-hatilah terhadap godaan anak. Anak adalah simbol dan obyek kecintaan pada duniawi. Demi anak, orang tua mau berkorban apa saja untuk menggembirakannya. Namun jika tidak hati-hati, seorang pemimpin bisa jatuh karena kecintaan yang berlebihan pada anaknya, sehingga bisa mengalahkan cintanya pada Allah dan nasib rakyat.

Ibrahim adalah sosok pemimpin, sehingga pesan Allah kepada Ibrahim sesungguhnya berlaku pula untuk kita. Kalau cinta kita pada Ismail, yaitu anak-anak kita sendiri, sampai melupakan cinta kita pada Allah dan fakir miskin, maka negara ini tak lama lagi akan hancur. Sesungguhnya cinta pada anak adalah proyeksi nafsu dan ego kita yang tidak hanya terarahkan pada anak, tetapi pada materi, jabatan, dan popularitas.

Jadi ”egoisme perusak” yang harus disembelih, dan ‘berhala’ hawa nafsu yang harus dikorbankan. Inilah spirit dan pesan ibadah qurban, yang harus diterjemahkan dan diwujudkan dalam amal nyata, terutama berupa santunan yang benar-benar diperlukan oleh mereka yang tergolong dhu’afa, tertindas dan bernasib malang. Sebab, yang dilihat oleh Allah bukanlah wujud pemberian dagingnya, melainkan ketaqwaannya.

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ

Daging-daging (unta/kambing) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (QS. Al Hajj: 37)

****
Gozali Sudirjo
Founder & CEO Referensi Muslim
http://referensimuslim.com

Bergabung dg ribuan lainnya di Grup Khusus klik:
https://www.facebook.com/groups/848358288598153/

Berbagi dengan Admin Follow @referensimuslim

Silahkan tulis komentar Anda disini!

Your email address will not be published. Required fields are marked *